Militansi Kader PMII sebagai GenerasiAhlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah
0 menit baca
Militansi Kader PMII sebagai GenerasiAhlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah
Oleh: Keluarga Besar IKAPMII Komisariat Raden Rahmat
Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia (Tujuan PMII ad/art BAB IV pasal 4)[1].
Pendahuluan
Ketika mendengan kata militansi mungkin sudah tidak asing lagi bahwa yang dimaksut militansi kader adalah kader PMII yang memang mempunyai jiwa juang yang teguh dalam menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai ke-PMIIan, yakni keislaman dan keindonesiaan yang merupakan sublimasi dari al-Qur’an, Hadits, UUD 1945 dan pancasila yang artinya kader PMII wajib menjunjung tinggi nilai luhur keagamaan sebagaimana tujuan PMII (ketaqwaan), dengan berbekal intelektual yang memadai (intelektualitas) dan disertai jiwa nasionalisme dengan berkomitmen meperjuangkan cita-cita kemerdekaan (kebangsaan)
Kondisi kader-kader PMII dari waktu-ke waktu kian berubah, pasalnya hal ini ditengarai budaya konsumtif yang meliputi dunia global tidak terkecuali mahasiswa di Indonesia yang merasa asik denga style atau gaya hidup yang serba mewah dengan melupakan tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) yang sebenarnya dipegang teguh dalam berkehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi melihat kader-kader PMII yang unhistoris atau melupakan sejarah kePMIIan dengan serangkaian ideology dan manhajnya sebagai warga nahdliyyindengan melupakan nilai-nilai keagamaan—dengan bertingkah di luar nilai keislaman (akhlaq madzmumah)—dan keintelektualan dengan pola hidup yang jauh dari tradisi membaca.
Setidaknya dalam tulisan ini, penulis mempunyai ikhtiar untuk merefresh kembali tentang tugas-tugas mahasiswa pada umumnya dan warga PMII pada khususnya yang tugas tersebut merupakan penerjemahan dari tri motto PMII (dzikir, fikir dan amal shaleh), tri khidmat (Taqwa, Intelektualitas dan profesionalitas) dan tri komitmen PMII (kejujuran, kebenaran dan keadilan)
Mandat Keagamaan PMII (Taqwa yang dicapai dengan selalu berdzikir akan memunculkan pribadi yang jujur)
PMII dengan keislamannya menuntut warganya untuk selalu menjunjung tinggi nilai keagamaan, baik dalam ketauhidan,ubudiyah ataupun dalam kehidupan sosial. Dalam hal ketauhidan dan ibadah tidak diragukan lagi bahwa warga PMII yang berpanutan kepada para masyayikh ahlu as-sunnah wa al-jama’ah mengikuti mdzhab tauhid imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dan salah satu madzhab fiqih yang sangat terkenal dengan madzahib al-arba’ah(Malikiy, Syafi’iy, Hanbali dan Hanafi) yang sebenarnya tidak boleh ditinggalkan selama mampu bermanhaj atau mempunyai metodologi istinbat hokum sendiri yang itupun tidak sedikit syarat dan prasyarat sebagai seorang mujtahit muthlak.
Dalam hal berkehidupan sosial, warga pergerakan ini setidaknya harus menjaga prilaku (moral) terhadap orang lain (sesama manusia) dan dengan alam sekitar. Hal pertama yang menjadi titik fundamental dalam kehidupan sosial adalah menjaga ucapan karena memang banyak beberapa hadits dan ayat yang sangat memberika wejangan-wejangan tentang bahanya sebuah ucapan;
انَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ[2]
Artinya: “Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam,“Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran sekaligus solusi dalam menjaga lisan dan bahkan dengan sangat keras beliau memberikan statement, bahwa orang yang tidak menjaga lisannya dengan baik sebagai orang yang tidak beriman,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت[3]
Artinya: dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Dalam hal ini ada dua kategori ucapan yang negatif menurut pandangan Islam yakni,pertama negatif fi adz-dzat yaitu ucapan yang memang mempunyai konotasi buruk secara umum, dan kedua negatif bi as-sababyaitu sebuah ucapan yang sebenarnya tidak mempunyai konotasi negatif namun karena menyebabkan orang lain tersinggung dan sakit hati maka menjadi hal yang terlarang, dalam hal ini firman Allah:
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَ مَغْفِرَةٌ خَيْرُ مِّنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآأَذًى وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Artinya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf, lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”
Selain menjaga ucapan, dalam bermoral (akhlaq) warga PMII juga dituntun untuk menjaga sikap dan dalam hal ini sangat simple sekali yaitu dengan menyayangi yang labih muda (dengan membimbing dan tidak mengintervensi politik dengan kepentingan-kepentinga individual atau kelompok tertentu) dan menghormati yang lebih tua[4] (senior) dengan tetap menjaga tali silaturrahim, meminta nasehat-nasehat dan bimbingan dalam berPMII, karena bagaimanapun senior adalah kader yang membawa adik-adiknya untuk mengenal PMII. Dan tidak kalah pentingnya dalam hal menjaga kelestarian alam dan lingkungan karena itu juga bagian dari subtansi keimanan[5].
Mandat Keintelektualan PMII(Intelektualitas yang dicapai dengan selalu berfikir akan memunculkan pribadi yang menjunjung tinggi kebenaran)
Selain bertaqwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan baik dengan ibadah atau sosial, warga PMII juga mempunyai tugas keilmuan yang dengan itu, dituntut untuk selalu belajar, baik tekstual dengan membaca, ngaji kitab dan lain-lain atau dengan cara dialog yakni diskusi. Karena hal itu—keilmuan—selain pegangan mahasiswa dengan tri dharma perguruan tinggi juga merupakan suatu pembeda dengan golongan lain (orang tidak berilmu) firman Allah SWT
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Katakan (wahai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)
Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa dalam ayat di atas Tuhan menafikan unsur kesamaan antara orang berilmu dengan yang tidak berilmu sebagaimana perbedaan antara penduduk surga dan neraka sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr: 20[6].
Di lain pihak mencari ilmu (red. Belajar) memang suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Tuhan dan Rosulnya sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mujaadilah: 11. Dan banyak lagi keutamaan dan anjuran dalam menuntut ilmu, baik dal;am al-Qur’an, Hadits atau maqolah-maqolah para ulama dalam kitab klasiknya.
Mandat Kebangsaan PMII (sikap profesional yang dicapai dengan beramal shaleh akan berindikasi pada kehidupan sosial yang adil)
Dengan ke-Indonesiaannya PMII mempunyai tugas untuk mempertahankan negara dengan empat pilarnya yaitu, pancasila, bhineka tunggal ika, NKRI dan UUD 1945 sebagai wujud kecintaannya kepada bumi pertiwi, dan hal ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad ketika menunjukkan cinta beliau kepada tanah kelahiran makkah namun harus hijrah karena faktor konflik[7] dan juga firman Allah dalam surat Saba: 15.
Dengan kondisi Negara yang nagka korupnya tinggi, maka sebagai warga pergerakan dengan ruh perjuangannya dan jiwa kritis sosialnya ada dua hal yang ahrus dilakukan sebagai perintah amar ma’ruf nahi mungkar. Pertama, menempati wilayah-wilayah strategis dan membawa ruh perjuangan tersebut bersama aspirasi rakyat menggunakan kekuatan parlemem karena anggota parlemenlah dengan serangkaian siding-sidangnya menentukan nasib bangsa setidaknya kurang lebih lima tahun berikutnya, kedua, tetap menjadi rakyat namun menempati stakeholder di masyarakat bawah dan menggunakan kekuatan rakyat untuk merubah kebangsatan sebuah system kenegaraan.
Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Thariq
[1] Buku-buku hasil kongres XVII PMII. Hal. 19
[2] Hadis riwayat Imam Muslim. No 64
[3] Kitab Shohih Bukhari no. 6475, Muslim no. 74 dan Imam Nawawi dalam kitab al-Arba’in Nawawi. No. 15
[4] Syekh Umar bin Ahmad Baraja dalamAkhlaq li al-banin fi bab adab al-walad. Juz 1
[5] Imam Nawawi dalam kitab al-Arba’in Nawawi. No. 23
[6] Ibn Qoyyim dalam kitab Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221
[7] al-hafidz al-haitami,musnad al-haris juz 1 hal.460.